Soto, Kabut Putih dan Damainya Vihara Buddhagaya Watugong (Tour de Semarang Part 1)





Cocok sebagai sarapan adalah kalimat yang pas untuk soto yang Saya santap pada minggu pagi 22 Mei 2016. Kuah kaldu ayam tanpa santan yang gurih juga berhasil menghangatkan perut Saya yang keroncongan. Memang sih ukuran mangkuk kecil sesuai dengan ukuran standar soto kudus namun cukup untuk porsi saya. Dipadu dengan nasi yang tidak terpisah dan beberapa potongan baceman usus maka cukuplah untuk mengawali perjalanan menuju Semarang.



Pagi itu semua bangku sudah penuh, sekiranya warung tersebut memang incaran banyak penyuka soto. Biasanya Saya mencari sahabat soto yaitu Lentuk yang bisa ikut mengenyangkan sekaligus sebagai lauk bila lidah tak ingin mencicipi manisnya sate. Lentuk yang Saya cari memang tak ada namun dua mangkuk sate menggoda saya. Di meja terdapat dua pasang sate usus dan dua pasang sate telur puyuh. Sedikit mengherankan karena kuah baceman turut disertakan pada mangkuk sate. Memang pembeli boleh mengambil kuah baceman tersebut dan saat Saya mencicipi seperempat sendok makan rasanya memang manis walau tak semanis baceman ala Jogja. Tak berapa lama setelah selesai menyantap soto yang lumayan jumlah suwiran ayamnya, rombongan melanjutkan ke perjalanan menuju ungaran.






Rombongan kami menggunakan avanza abu-abu berplat B yang dikendarai oleh Mas Aris. Perjalanan dari Jogja mulai jam 6.10 WIB lalu melewati SPBU Baledono serta pusat perjualan Salak Pondoh dan melewati kabut tipis namun tetap setia di semua arah. Puncak merapi di sebelah kanan juga terlihat berasap putih seperti tak mau kalah dengan kabut. Pada artikel selanjutnya Saya jelaskan lebih detail bagaimana perjalanan dan apa hubunganya dengan iringan mobil Kodam Diponegoro.


 Jam 09.15 WIB setelah Mba Sulis sebagai navigator sekaligus asisten tour guide sudah duduk manis di samping Mas Aris (tour guide) maka Vihara Buddhagaya Watugong disasar sebagai tempat wisata pertama. Dan cukup mengejutkan karena hanya ditarik uang parkir seiklasnya, untuk pemandangan dan suasana sedamai Vihara Buddhagaya Watugong . Bahagia itu memang tak selalu mahal. 





Tepat jam 9.30 WIB mobil diparkirkan masih di areal Vihara Buddhagaya Watugong dan tak jauh dari bangunan aula yang ditujukan untuk kegiatan para umat. Bangunan Vihara Buddhagaya Watugong sendiri yang mempunyai ketinggian bisa dicapai selama lima menit dari tempat parkir. Kita hanya perlu naik beberapa anak tangga dari batu candi dan sampailah kita di pelataran dimana di sebelah kanan terdapat patung Budha keemasan yang bersemayam di tengah pohon. Di beberapa dahan terendah sudah dipenuhi untaian pita merah yang berisi doa para umat.



Ada sebuah pantangan tak tertulis yaitu dilarang membelakangi patung Budha. Dan Saya bergegas meminta Mba Sulis mengabadikan moment tersebut dengan pose di samping luar lingkaran altar. Demikian juga saat Saya mendapati patung Budha terbuat dari batu candi tepat dibalik pohon. Untuk Anda yang mudah kelaparan atau kehausan, sudah ada dua warung tenda yang menyediakan konsumsi untuk para pengunjung. Demikian juga di pelataran dalam Vihara Buddhagaya Watugong, para pengurus juga menyediakan minuman kaleng dingin. Benar-benar memberikan kenyamanan dan ketenangan agar para umat bisa fokus. 




Untuk sampai bangunan pagoda, kami harus melewati beberapa anak tangga lagi yang lebih banyak jumlahnya. Di sebelah kiri terdapat bangunan kosong untuk istirahat dan patung kura-kura dengan sejumlah nama donatur. Di seberang patung tersebut dan terhubungkan dengan beberapa anak tangga sempit terdapat patung Budha tidur. 



Bangunan pagoda sendiri dikelilingi kolam ikan kecil yang mewujudkan bunga teratai yang merekah. Saya sedikit mengantuk saat menapaki anak tangga menuju pelalataran dalam pagoda, angin memang berhembus menyejukan di antara udara lumayan semringin kata orang jawa. Terdapat lima patung utama yang dihaturkan hio, dan patung Budha Rupang keemasan berukuran besar terdapat di balik pintu utama. Oya ada tiga pintu kayu dengan ornamen cantik walau sederhana. Tiang-tiang pagoda juga dipenuhi dengan ukiran naga abu-abu, sebuah lambang keabadian dan kekuasaan menurut tradisi tionghoa.






Jarum panjang di tangan sudah menunjukan pukul 9.30 WIB dan setelah welfie beberapa pose, maka kami beranjak ke parkir mobil. Yah kita masih akan menyusuri kota semarang dengan bebarapa tempat bersejarah yang lain. So ketemu nanti di artikel mengenai Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong, Lawang Sewu, Kota Lama dan tetap kabut. Oya untuk Tour de Semarang atau kota lain bisa hub Aris di +62 818-0887-3223.




 Salam Wueanak.


Image: Vika Kurniawati 

Baca juga artikel jelajah wisata: 


Related Posts

Posting Komentar